Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia. Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004.
Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.
Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.
Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak kuranglebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.
Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebi' jakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kultur bangsa Indonesia tidaklah sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena masalah harmonisasi kehidupan dan hubungan interpersonal ternyata masih menentukan keberhasilan suatu perencanaan/program dalam mencapai tujuannya. Kultur bangsa Indonesia menabukan penyebarluasan aib di muka umum, apalagi dalam posisi hukum masih belum dinyatakan bersalah oleh kekuatan suatu putusan pengadilan. Gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan "mempermalukan" di muka publik dengan aib yang melekat pada seseorang terbukti telah kontraproduktif dan antipati terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Konsekuensi lanjutan yang tampak adalah resistansi menguat dan politisasi menajam terhadap setiap gerak langkah Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pembentukannya.
KPK bukan ICAC Hong Kong atau Korea Selatan atau BPR Malaysia; begitu pula institusi Kejaksaan Agung. Semakin jelas kiranya bahwa inti persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan semata-mata masalah penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan demi kepastian hukum dan keadilan, melainkan erat kaitannya dengan masalah perubahan kultur dan sikap masyarakat yang sangat permisif dalam hal memberikan dan menerima hadiah yang kemudian dikenal sebagai gratifikasi. Sampai saat ini, perubahan kultur dan sikap anti terhadap gratifikasi di kalangan penyelenggara negara telah ada titik terang. Terbukti 50 persen dari seluruh penyelenggara negara telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK, dan dari 50 persen tersebut, kuranglebih 10 persen telah melaporkan pemberian/penerimaan hadiah kepada KPK. Sejak diberlakukannya ketentuan larangan gratifikasi pada 2001, perubahan tersebut telah ada kemajuan berarti sekalipun masih belum menyeluruh. Kegigihan KPK mengumumkan pelaporan harta kekayaan oleh penyelenggara negara berdampak positif terhadap perubahan kultur dan sikap tersebut.
Keberhasilan KPK memperkarakan korupsi sebanyak 59 kasus, yang melibatkan pejabat negara, penegak hukum, dan lembaga negara serta pemimpin proyek, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama kurun waktu empat tahun merupakan prestasi luar biasa, sekalipun agenda prioritas pemajuan perkara sampai saat ini belum jelas dan terbuka kepada publik. Masalah pokok kinerja KPK dan Kejaksaan Agung terletak pada penguatan transparansi serta akuntabilitas kinerja kepada publik agar tidak menimbulkan mispersepsi adanya diskriminatif atau "tebang pilih".
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan penguatan mekanisme internal di KPK dan Kejaksaan Agung dalam masalah tersebut. Pembangunan hukum dalam pemberantasan korupsi di masa mendatang, seharusnya menanamkan paradigma baru, yaitu bahwa pencegahan dan penindakan serta pengembalian aset korupsi merupakan tiga pilar utama yang berkaitan erat.
Penindakan dan penghukuman pelaku korupsi tidak akan berhasil signifikan untuk membangun pemerintah yang sehat dan berwibawa serta bebas korupsikolusinepotisme jika pencegahan melalui reformasi birokrasi tidak dilaksanakan secara optimal. Begitu pula kedua strategi tersebut tidak dapat disebut berhasil secara komprehensif dan memberikan kontribusi signifikan terhadap anggaran negara jika tidak berhasil mengembalikan aset korupsi kepada negara atau memberikan perlindungan kepastian hukum kepada pihak ketiga yang beriktikad baik.
Merujuk pada tiga strategi tersebut, masalah pemberantasan korupsi di masa mendatang bukan terletak pada faktor penghukuman semata-mata, melainkan seberapa jauh kinerja KPK dan Kejaksaan Agung dapat membangun sistem birokrasi yang "aman dan terlindungi" dari perilaku koruptif serta seberapa banyak kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengembalian aset hasil korupsi yang disembunyikan di dalam negeri dan ditempatkan di luar negeri. Ketiga strategi baru pemberantasan korupsi di masa mendatang harus diperlakukan secara seimbang, direncanakan dengan baik dan berkesinambungan, sehingga persoalannya nanti bukan terletak pada mana yang lebih penting: menghukum atau mengembalikan aset korupsi, melainkan terletak pada efisiensi dan efektivitas penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum dan berkeadilan sosial.
1 komentar:
thanks Bray Infonya !!!
www.bisnistiket.co.id
Posting Komentar
Setelah kamu baca, tolong beri komentar ya ^_^ trims...