Kamis, 07 Oktober 2010

Intermediasi Keuangan dan Pendelegasian Pengawasan

Berikut ini adalah model intermediasi keuangan dan pendelegasian pengawasan yang disajikan kedalam bentuk bagan untuk mempermudah para pembaca dalam memahami proses terkait antara pemberi pinjaman, peminjam dan lembaga keuangan.


Bagan diatas akan lebih mudah dipelajari dengan melihat keterangan dari hubungan dari proses yang satu dengan proses lainnya. Dan berikut penjelasannya:
1. Hubungan Antara Pember Pinjaman, Lembaga Keuangan, dan Peminjam

Berbicara tentang lembaga keuangan, maka kita akan mendapatkan 3 pelaku utama yang saling berhubungan dengan pengaliran dana dalam kegiatan moneter. Pelaku yang pertama adalah pihak pemberi pinjaman (lender) atau deposan (deposito) yang merupakan pihak yang memiliki kelebihan dana atau disebut sebagai unit surplus. Pihak kedua adalah pihak peminjam (borrower) atau entrepreneur yang merupakan pihak yang mengalami kekurangan liquiditas atau disebut juga sebagai unit defisit. Pelaku yang terakhir adalah lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan yang menghubungkan antara pihak surplus dengan pihak defisit.
Dalam kehidupan sehari-hari, pihak pemberi pinjaman atau pihak surplus menyetorkan kelebihan dananya kepada lembaga keuangan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya. Lalu, lembaga keuangan yang mengelola dana tersebut sebagai dana yang akan dipinjamkan kepada peminjam atau pihak defisit. Pihak defisit lalu menggunakan dana tersebut untuk melakukan suatu investasi, usaha atau digunakan untuk konsumsi.

2. Kondisi Informasi Asimetris

Kemampuan mengakses informasi dari seluruh pihak dalam lalu lintas keuangan tentu saja berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Faktanya, pihak peminjam memiliki akses yang lebih banyak dalam memiliki informasi tentang penggunaan dana yang diberikan kepadanya. Sedangkan pihak pemberi pinjaman dan pihak perantara hanya terbatas pada beberapa aspek saja. Dalam ekonomi, kondisi ini disebut informasi asimetris (asymmetric information) atau ketidaksempurnaan informasi. Secara teoritis informasi asimetris adalah perbedaan kemampuan dalam mengakses informasi. Ketidaksempurnaan informasi terjadi bila salah satu atau lebih dari pihak yang bertransaksi memiliki informasi lebih tentang kualitas input, output, maupun tentang aspek-aspek ekonomi lain yang mana pihak lawan kesulitan untuk mengetahui informasi tersebut (misalnya terlalu mahal untuk mengakses informasi tersebut). Sebagai contohnya, pemberi pinjaman dan perantara tidak mengetahui berapa besar laba yang dihasilkan oleh peminjam dari penggunaan dana yang dipinjamnya sehingga hanya menguntungkan satu pihak saja.

3. Masalah Insentif

Salah satu dampak dari informasi asimetris adalah timbulnya peluang untuk menyalahgunakan informasi yang dimiliki. Informasi yang dimiliki tersebut disampaikan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, tetapi memberikan manfaat bagi peminjam. Sekarang tergantung pada pihak peminjam. Dia (peminjam) memilliki pilihan untuk menyampaikan informasi secara benar atau tidak benar demi mendapatkan keuntungan moneter. Apabila peminjam memilih untuk menyampaikan secara tidak benar maka tindakan yang dilakukannya disebut Moral Hazard. Dengan adanya moral hazard, terbuka peluang munculnya inefisiensi di pasar uang karena informasi asimetris.

Untuk menurunkan atau meminimumkan dampak negatif dari informasi asimetris dan moral hazard ini berarti harus dilakukan tindakan-tindakan tertentu. Bahkan untuk menyelesaikan masalah tersebut timbul masalah baru. Masalah baru tersebut timbul dalam perumusan tindakan-tindakan yang dibutuhkan agar pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak menyampaikan informasi tersebut secara benar. Sehingga, informasi yang diterima sang pemberi pinjaman adalah informasi yang benar dan sesuai fakta sesungguhnya serta tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk mengatasi masalah insentif ini, ada beberapa pilihan yaitu tanpa intermediasi dan pendelegasian pengawasan.

4. Tanpa Intermediasi

Seperti yang telah disinggung pada penjelasan sebelumnya, solusi utama dari informasi asimetris adalah melakukan pengawasan dari pemberi pinjaman (deposan) kepada peminjam. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan pendelegasian (inermediasi) ataupun tanpa pendelegasian. Tanpa intermediasi bertolak belakang dengan pendelegasian pengawasan. Dalam pengawasan tanpa intermediasi tidak dilakukan pendelegasian pengawasan. Ada dua kemungkinan kondisi yang timbul akibat tanpa intermediasi, kondisi pertama bila informasi sebagai barang pribadi (privat) dan yang kedua bila informasi sebagai barang publik.

4.1 Implikasi Yang Muncul Dari Pengawasan Tanpa Intermediasi Bila Informasi Sebagai Barang Pribadi/ Privat

Kondisi yang terjadi apabila informasi dianggap sebagai barang pribadi yakni semua kegiatan pengawasan akan dilakukan oleh semua pihak secara sendiri-sendiri baik dari pihak deposan maupun pihak lembaga keuangan. Hasil informasi dari pengawasan tersebut tidak akan bisa dimanfaatkan oleh pihak lain, padahal pihak-pihak yang terkait dengan pasar uang memerlukan informasi tersebut. Dengan adanya pengawasan sendiri-sendiri pada peminjam, maka akan memunculkan kegiatan duplikasi pengawasan. Kegiatan ini menyebabkan tindakan pengawasan menjadi sangat mahal.

4.2 Implikasi Yang Muncul Dari Pengawasan Tanpa Intermediasi Bila Informasi Sebagai Barang Publik

Lain halnya dengan anggapan bila informasi dinyatakan sebagai barang privat, kondisi yang terjadi apabila informasi dianggap sebagai barang pribadi memunkinkan tidak dilakukan pengawasan sama sekali karena tanpa campur tangan otoritas moneter, informasi hasil pengawasan akan menjadi milik bersama atau informasinya akan banyak dinikmati oleh penumpang gelap (free-rider) sehingga individu akan merasa rugi bila melakukan pengawasan. Individu tidak terdorong melakukan pengawasan karena kegiatan pengawasan memerlukan pengorbanan sumber daya atau biaya, dan disisi lain, yang akan menikmatinya adalah semua orang sehingga individu yang melakukan pengawasan merasa dirugikan.

Kegiatan pengawasan dalam kondisi demikian hanya akan efektif bila dilakukan oleh otoritas moneter, dan hal tersebut sama saja dengan pendelegasian pengawasan.

5. Delegasi Pengawasan

Lain halnya dengan pengawasan tanpa intermediasi, pendelegasian pengawasan atau intermediasi adalah pengawasan pada pihak lender yang didelegasikan oleh deposan (depositor) kepada lembaga keuangan. Kegiatan ini dilakukan karena deposan memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan dalam kaitannya keberadaan lembaga keuangan sebagai perantara keuangan. Pengawasan atau monitoring ini dilakukan oleh lembaga keuangan yang memang memiliki kemampuan dan spesialisasi dalam bidang pengawasan. Delegasi pengawasan menjadi solusi yang tepat bagi masalah insentif sehingga diharapkan penyalahgunaan akses informasi dari peminjam dapat lebih terminimalisasi.

Dengan menjadikan delegasi pengawasan menjadi solusi utama, perlu disadari bahwa kegiatan delegasi pengawasan tersebut memerlukan biaya dan harus memiliki tujuan tertentu. Tujuan dari kegiatan pendelagasian pengawasan ini adalah sebagai upaya untuk mendapatkan tingkat pengembalian sejumlah dana (rate of return) dari hasil penyaluran dana yang telah dipinjam oleh pihak defisit, tanpa melupakan resiko investasi yang harus dihadapinya. Return merupakan salah satu faktor yang memotivasi deposan berinvestasi dan juga merupakan imbalan atas keberanian deposan menanggung resiko atas investasi yang telah dilakukannya sehingga return diartikan sebagai keuntungan yang diperoleh deposan atas dana yang ditanamkan pada suatu investasi.

Dengan tujuan mendapatkan tingkat pengembalian sejumlah dana dan agar biaya yang dikeluarkan dalam pengawasan tersebut tidak terlalu banyak maka diperlukan minimalisasi biaya delegasi pengawasan dan atau maksimisasi tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) bagi pengusaha atau entrepreneur dengan kendala-kendala tingkat pengembalian tertentu yang sering terjadi pada peminjam.

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh masing-masing karakter pihak-pihak yang terlibat dalam sistem lembaga keuangan dan dalam proses penyaluran dana. Ada dua karakter yang harus dipahami, yakni karakter yang cenderung menghindari resiko (risk averse) dan karakter yang cenderung netral terhadap resiko (risk neutral). Investor risk neutral adalah investor yang besaran risiko seimbang dengan besaran tingkat pengembalian yang diperoleh. Biasanya, deposan neutral ini dianggap deposan yang moderat. Selanjutnya, deposan risk averse, yaitu investor yang masih bisa mentolerir risiko yang kecil, bukan tidak mau menerima atau menghindari risiko. Jika dilihat dari sudut instrument investasi tidak ada satupun lembaga keuangan yang menjajikan adanya resiko nol terhadap para deposan.

Dalam membantu upaya minimisasi Biaya Delegasi dan Maksimisasi Expected Rate of Return pada entrepreneur, pengawasan dapat dilakukan dengan Penalti Nonkeuangan atau Non-Peuniary Penalty yakni adalah hukuman yang bukan berupa uang yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada pihak defisi atau peminjam dan atau para entrepreneur yang memanfaatkan kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan. Hukuman yang dimaksud bukan berupa denda, melainkan seperti penjara atau penyitaan investasi peminjam. Dengan demikian, adanya unsure paksaan untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam sesuai denan tingkat pengembalian yang ditentukan oleh lembaga keuangan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah kamu baca, tolong beri komentar ya ^_^ trims...